January 04, 2013

Turkey Trip: tentang keluarga Laila



Bangun tidur, rasanya seperti mimpi. Tak percaya kalau semalam akhirnya mendarat di Istanbul untuk kedua kalinya. Hampir tengah malam kami sampai di rumah teman Ayu yang memberi kami tempat menginap. Sebut saja namanya Laila. Dia menjemputku dan Ayu di bandara Ataturk, bersama adik perempuan dan sepupunya. Ketika menuju ke parkiran mobil, kami sempat bertemu dengan ayahnya Laila, karena beliau memang bekerja di areal bandara. Laila sempat menunggu kami agak lama sebelum keluar dari pintu kedatangan internasional. Karena aku dan Ayu harus terlebih dahulu mengantri di tempat penjualan Visa on Arrival, kemudian mengambil bagasi kami. Sebenarnya kalau semua berjalan lancar, mungkin Laila tidak perlu menunggu selama itu. Akan tetapi ada satu kejadian yang membuatku agak jengkel bin sebal, tapi juga geli dan kasihan.

Ceritanya gini, kami sudah mempersiapkan paspor dan uang Euro untuk membeli visa. Begitu kami serahkan kepada petugas di loket visa, mereka menolak uang Euro kami, karena katanya untuk paspor Indonesia kami hanya diperkenankan membayar dengan mata uang USD. Aku sempat bertanya mengapa tapi petugasnya ngga bisa menjawab. Akhirnya kami tanya dimana bisa menukarkan Euro dengan USD, dan sekali lagi diapun tidak tahu. Dia hanya menyarankan kami untuk bertanya di bagian trasfer desk. Awalnya sempat ragu untuk bertanya kesana, tapi karena tidak tahu mau bertanya ke siapa lagi akhirnya kami pun menuju ke transfer desk untuk mengantri. Masih dengan hati jengkel, Ayu akhirnya menelepon Laila untuk memberitahukan bahwa kami sudah sampai akan tetapi masih harus mengantri. Setelah beberapa saat tibalah giliran kami untuk bertanya, dan petugas di transfer desk malah meminta kami untuk ke lantai 2 (transfer area) jika ingin menukar uang, karena hanya disana yang ada tempat penukaran uang. Padahal untuk masuk ke areal transfer kami harus melewati gerbang pemeriksaan barang dan pastinya akan memakan waktu lebih lama. Kamipun memutuskan untuk tidak mengikuti saran mereka. Dalam kebingungan tak sengaja mata Ayu menangkap seoongok mesin ATM yang bertuliskan €/USD/TL yang merupakan simbol untuk mata uang Euro, US Dollar dan Turkish Lira. Kami pun senang bukan kepalang, dan langsung mencoba untuk transaksi penarikan uang. Bingo! Transaksi sukses dan 50 USD sudah ditangan, kami bergegas mengantri (lagi) di loket visa dan tanpa ba bi bu paspor langsung diberikan stempel visa Turki seharga 25 USD per orang. Aahh lega rasanya akhirnya bisa masuk Turki. Setelah dapat visa, selanjutnya masih harus mengantri di gerbang pemeriksaan paspor. Ada dua bagian utama disini yaitu gerbang khusus warga negara Turki dan gerbang untuk pemegang paspor selain Turki. Antrian mengular tapi dalam tempo relatif cepat karena gerbang untuk masing-masing bagian ada lebih dari lima. Sampai di depan petugas, menyerahkan paspor yang sudah berisi stempel visa Turki dan lolos. Sekarang saatnya mencari bagasi, dan tanpa susah payah kami menemukan dua tas yang tergeletak manis di conveyor belt. Hanya tinggal tasku dan tasnya Ayu, karena yang lain sudah diambil oleh pemilik masing-masing. Jadi bisa dibayangkan berapa lama proses kami untuk mendapatkan visa tadi. Tapi tak apalah, apa artinya perjalanan tanpa pengalaman, ya kan? Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa di Turki ternyata ada mesin pengambilan tunai yang menyediakan tiga mata uang sekaligus, dan menurutku ini sangat keren!

Setelah itu cerita berlanjut, kami menumpang mobil Laila dan langsung menuju rumahnya. Perjalanan dari bandara Ataturk ke rumahnya memakan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang perjalanan membelah jalan tol, banyak gedung-gedung bertingkat di sisi kanan dan kiri jalan, mengingatkanku pada ibukota Jakarta. Rumah Laila berada di daerah berbukit di kawasan Güngören. Disini sebagian besar merupakan kawasan permukiman padat penduduk. Permukiman yang umum bentuknya seperti apartemen, rata-rata bertingkat lima. Di bangunan tempat rumah Laila berada, hanya ada tiga tingkat. Dia dan keluarganya (orang tua, adik perempuan, kakak laki-laki) tinggal di lantai satu, kemudian kakek dan neneknya di lantai 2. Aku kurang tahu siapa yang tinggal di lantai 3, kupikir juga masih keluarga mereka. Kami disambut oleh ibunya Laila malam itu, beliau ramah. Kami dipersilahkan masuk, saling memperkenalkan diri, ditunjukkan denah seisi rumah dan juga kamar yang akan kami tempati. Kami banyak mengobrol dengan beliau menggunakan bahasa jerman, karena beliau lebih mahir berbahasa jerman daripada bahasa inggris. Karena sejak lahir sampai sebelum menikah, beliau tinggal di Austria juga. Setelah menikah barulah pindah ke Istanbul untuk tinggal bersama suaminya. Laila mempunyai seorang adik perempuan bernama Aesya dan seorang kakak laki-laki yang sudah bekerja di kota lain dan saat itu tidak berada di Istanbul. Sedangkan Aesya masih kuliah di kota lain juga, akan tetapi hari itu sedang ada di rumah, jadinya kami bisa berkenalan. Aesya tidak bisa berbahasa inggris ataupun jerman, tapi darinya kami tahu bahwa dia adalah penggemar berat klub sepakbola asal Turki yaitu Galatasaray. Klub ini cukup terkenal juga di Indonesia karena dulunya kalau tidak salah sempat masuk ke dalam klasemen liga utama Eropa. Dia pun gembira karena aku dan Ayu tahu tentang klub ini. Malam itu untuk pertama kalinya aku mencicipi teh asli kebanggaan orang Turki atau yang biasa disebut Cay. Sebenarnya aku pernah mencicipinya sewaktu di Innsbruck, akan tetapi entah kenapa rasanya berbeda jika diminum di negara asalnya. Laila bilang dia juga merasakan hal yang sama. Mungkin saja karena faktor perbedaan air dan juga cuaca yang menyebabkan perbedaan rasa ini.

Kami mengobrol sampai lewat tengah malam untuk kemudian akhirnya beristirahat karena semua orang sudah mengantuk. Bapak (Baba dalam bahasa Turki) Laila malam itu mendapatkan shift malam sampai pagi, karena itu beliau tidak pulang ke rumah. Mungkin kami akan bertemu keesokan hari. Selamat malam Istanbul, tunggu petualangan kami esok hari.

No comments:

Post a Comment