July 11, 2012

Suatu sore di teras kafe

”Apa kabar?” Tanyaku padanya ketika kami bertemu sore itu.

Dia lalu menjawab dengan gaya khasnya. Seulas senyum kutangkap di ujung bibirnya yang masih juga menghitam karena kebiasaan merokok. Kami lalu duduk berhadapan. Posisi duduk ini adalah favoritku ketika berbicara dengan orang lain. Dia tahu itu. Tak lama kami pun memesan kopi dan makan ringan sebagai teman mengobrol. Kopi adalah minuman kegemaranku dan dia. Pun masih sama sampai sekarang. Kopi pekat untuknya, dan cappucino untukku. Sembari menunggu pesanan, kami saling menanyakan kabar secara lebih mendetail.

”Gimana sekolahmu?” tanyanya.

”Baik, sudah memasuki tahun terakhir dan aku harus segera menyelesaikan. Karena sebentar lagi beasiswaku pun usai.” Aku menjawab santai.

”Hmm, kalo gitu sebentar lagi jadi bu doktor dong?” imbuhnya seraya bercanda.

”Iya, bu doktor dari Hongkong” kataku. Dan kamipun tertawa bersama.

Ini kali pertama kami bertemu lagi setelah empat tahun tak bersua. Waktu pulang ke Indonesia beberapa waktu yang lalu, aku sempatkan menanyakan kabarnya melalui SMS, dan ternyata nomor telepon-nya pun masih sama. Jadilah kami saling berkirim kabar (lagi) dan berjanji bertemu hari ini, menyambung kembali silaturahim yang pernah terputus. Sosoknya masih sama, tinggi, berkulit hitam (menurutku sih sawo matang, tapi menurut dia hitam), rambut pendek dengan belahan pinggir yang rapi, tanpa kacamata, memakai kemeja lengan pendek dan celana jeans hitam dipadukan dengan sandal. Hitam adalah warna favoritnya, alasannya manurutku tak masuk akal. Dia suka warna hitam, karena warna kulitnya yang juga gelap. Aku dulu sering tertawa waktu mendengar alasannya ini. Ya, dulu, bertahun-tahun yang lalu ketika kami masih bersama.

”Gimana kabar keluargamu, sehat-sehat?” aku bertanya lagi padanya. Lagi-lagi dia hanya tersenyum dan menjawab singkat: ”mereka baik”. Aku tahu sampai detik ini, ada rasa tidak nyaman yang hadir diantara kami. Terlebih ketika aku menanyakan tentang kabar keluarganya, lebih tepatnya lagi anak dan istrinya. Seutas rasa perih masih menjalar dalam hembusan nafasku. Tapi kutahan dan berusaha tegar, toh sudah tiga tahun berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang meluluhlantakkan segala pertahanan batinku. Kejadian yang memaksaku terpuruk untuk beberapa waktu. Kejadian yang tak bisa membuatku membencinya, walau harusnya dia pantas kubenci. Kejadian yang..ah sudahlah aku tak mau mengingatnya.

Akupun kembali menanyakan sesuatu yang lain untuk mengalihkan perhatiannya, sampai kemudian pesanan kami datang. Segelas cappucino ini kuharap bisa menenangkan detakan jantungku yang masih saja berdebar-debar seperti dulu jika berada di hadapannya. Kuseruput perlahan minumanku, berharap dia tidak memperhatikan betapa groginya aku waktu itu.

Dia pun bertanya: ”sampai kapan jatah liburan di Indonesianya?”.

”Akhir bulan September ini aku harus kembali ke Austria”, jawabku.

”Wah masih lumayan lama tuh, setidaknya masih bisa mengobati rasa kangen makanan Indonesia”, dia terbahak.

”Iya, selain keluarga, makanan Indonesialah yang selalu kurindukan” aku menambahi.

Ingatanku kembali ke masa lalu, dimana kami sering menghabiskan waktu bersama untuk makan. Terkadang dia berkunjung ke rumahku jam 8 pagi hanya untuk menikmati semangkok bubur atau soto ayam favoritku di pasar desa yang terletak tak jauh dari rumahku. Atau makan malam dengan bakmi goreng, sate ayam maupun ikan bakar di sekitar tempat tinggalku. Sungguh aku masih mengingatnya dengan jelas, dan masih merindukan masa-masa itu bisa terulang. Tapi aku tahu ini hanyalah memori indah yang bisa kukenang dari kebersamaan kami. Seperti aku katakan sebelumnya, dia sudah berkeluarga dan kini kami hanyalah sebatas teman. Teman baik tentunya, tak akan lebih dari itu. Aku sadar sepenuhnya tentang posisiku dan juga tentang statusnya. Tapi aku senang kami masih bisa ngobrol santai seperti yang sedang kami alami sekarang.

”Oya, gimana disana kamu betah?”, dia menyadarkan lamunanku.

”Ya gitu deh, betah nggak betah tapi dibetah-betahin”, jawabku ngawur.

”Emangnya apa yang bikin nggak betah?”, lanjutnya.

Aku ingin menjawab, aku nggak betah karena ngga ada dirimu. Tapi tentu saja itu tertahan di kerongkongaku.

”Ya nggak betah aja, karena jauh dari keluarga dan teman-teman”, aku menjawab realistis.

”Tapi kan disana juga banyak ketemu teman baru?”, dia berargumen.

”Tapi tetep aja beda suasananya”, aku nggak mau kalah.

”Ah, perasaanmu aja kali”, dia akhirnya melunak karena melihat mukaku yang merengut.

Sore itu langit cerah, tempat kami bertemu ini adalah salah satu kafe yang menyajikan kopi paling enak menurutku. Makanya waktu kemarin membuat janji bertemu, kuusulkan ke kafe ini saja. Ternyata dia tak kecewa, karena kopinya memang enak. Sejenak aku lupa kalau ini Yogyakarta, kota yang sangat kucintai. Ya, aku merasa lupa karena aku bersamanya, bisa melihatnya lagi, jadi aku merasa seperti di awang-awang. Sungguh naif pemikiranku.

Suara dering telepon genggamnya memaksa kami untuk berhenti sejenak, karena dia harus menerima panggilan itu.

”Halo”, jawabnya sambil beranjak dari kursi dan menjauh dari tempat duduknya.

Ah, mungkin dia tak mau aku mendengar pembicaraannya, jadi aku diam saja dan pura-pura menyeruput kopi yang masih tersisa. Lima menit berlalu, dia masih belum selesai. Padahal waktu sudah mendekati pukul enam sore dan pasti adzan Magrib akan berkumandang. Aku harus bersiap pulang, pikirku. Untungnya beberapa detik kemudian dia sudah berjalan mendekati meja kami lagi.

”Maaf, tadi ada telepon dari rumah”, dia menjelaskan.

“Semua baik-baik kan? kataku balas bertanya.

”Ya, semua oke, hanya ada beberapa hal yang perlu dijelaskan”, imbuhnya.

Akupun berkata kalau waktu semakin sore dan nampaknya kami harus berpisah sekarang.

”Senang bisa bertemu dan ngobrol-ngobrol lagi denganmu. Semoga lain kali kita bisa ngobrol lebih lama.” sahutnya.

”Ya, tentu saja, sekali-sekali datanglah ke rumah ajak keluargamu. Pasti mereka senang.” akupun basi-basi.

”Tentu, kita cari waktu yang pas nanti”, dia antusias.

“Oke, sampai ketemu dan hati-hati di jalan ya, jangan suka ngebut seperti dulu”, lagaknya seraya menasehatiku.

“Siap laksanakan, komandan!” aku menjawab lantang.

Dan kamipun terbahak lagi. Di depan kafe itu, dia menatapku yang pergi menjauh. Kita tentu bisa merasakan jika ada orang lain yang memperhatikan gerak-gerik kita bukan? Kunyalakan motorku dan bersiap melaju, dengan satu lambaian tangan untuknya, dan berharap semoga suatu saat kami bisa bertemu kembali.

No comments:

Post a Comment