April 19, 2012

Cerita masa kecilku


Tahun 1990 adalah kali pertama kami sekeluarga menginjakkan kaki ke salah satu pulau di bagian timur Sumatera, yang bernama Pulau Bangka. Waktu itu Bangka dan Belitung masih merupakan kabupaten di bawah Propinsi Sumatera Selatan yang ibukotanya adalah Palembang. Namun sekarang, Bangka Belitung sudah berkembang menjadi satu provinsi tersendiri dengan ibukota Pangkal Pinang. Aku masih ingat waktu itu, kami naik bis ALS (Antar Lintas Sumatera) yang bertolak dari Jakarta menuju Palembang. Umurku sekitar 6 tahun. Jalanan yang kami lewati tidaklah semulus saat ini, menyebabkan waktu tempuh pun masih lebih lama dibanding sekarang. Tapi tetap saja aku menikmati, karena inilah perjalanan jauh yang kutempuh pertama kali. Sampai di Palembang, kami menginap beberapa hari di rumah saudara dari bapak. Ya, karena bapak lahir dan besar di Sumatera Selatan, tepatnya di kota Baturaja. Kota ini berjarak tempuh sekitar 5 jam dari kota Palembang ke arah selatan. Malah justru lebih dekat dengan Kotabumi, salah satu kota di Provinsi Lampung.

Untuk mencapai Pulau Bangka, kami masih harus menyebrang menggunakan kapal kayu. Ukurannya bisa dibilang besar karena bisa menampung lebih dari 100 orang dan juga kendaraan berupa mobil dan motor. Butuh waktu sekitar lebih dari 5 jam waktu itu, tapi aku lupa tepatnya. Yang masih aku ingat,  kapal sempat karam hampir satu jam. Karena air laut surut dan kapal tak bisa bergerak sama sekali. Dasar laut terlihat jelas dengan segala kehidupannya, ikan dan terumbu karang. Syang waktu itu belum ada kamera digital, jadi tak ada jejak sama sekali. Tapi masih jelas tersimpan dalam ingatanku. Kami berdoa, supaya air segera pasang dan kapal bisa kembali berlayar. Akhirnya setelah menunggu, doa kami dikabulkan. Sampailah kapal ke dermaga kota Muntok. Kota inilah yang merupakan jalan masuk utama ke Pulau Bangka. Semua kapal penumpang melempar jangkar disini. Pun sampai sekarang, pelabuhan Muntok masih digunakan dan tertata semakin rapi untuk melayani penumpang.

Tujuan kami bukanlah Muntok, melainkan satu kota bernama Sungailiat. Untuk menuju kota ini membutuhkan waktu lima sampai enam jam dengan menumpang bis kayu atau akrab disapa Pownis oleh masyarakat setempat. Pownis ini tak ubahnya sebperti bis biasa, dengan kapasitas tempat duduk sekitar 50 orang. Pintu hanya ada empat, satu pintu di sebelah kanan untuk supir, dan tiga di sebelah kiri untuk penumpang. Jangan tanya bagaimana senangnya aku waktu itu, karena penampakan bis ini agak berbeda dengan bis yang ada di Yogyakarta. Setelah beberapa waktu, sampai juga kami di kota Sungailiat. Kamipun menuju rumah salah satu saudara bapak yang bersedia menampung untuk sementara waktu. Karena waktu itu bapak belum mendapatkan rumah kontrakan. Rasa senang karena bertemu saudara pun membuncah. Saudara bapak ini adalah suami istri dengan enam orang anak. Aku memanggil mereka dengan sebutan Uwak laki (paman laki-laki) dan uwak bini (bibik perempuan). Anak mereka terdiri dari empat orang laki-laki dan dua orang perempuan. Karena belum bisa berbahasa daerah, maka komunikasi pun berlangsung dalam bahasa Indonesia. Jadi tak ada kendala tentu saja. Kami patut berterimakasih kepada para pejuang dan cendikiawan yang dulu telah merumuskan satu bangsa, satu bahasa, Bahasa Indonesia.

Aku waktu itu masih kelas satu SD sewaktu bapak dan ibu mengajakku untuk berpindah tinggal. Kakek sempat tidak menyetujui karena jarak yang terlalu jauh. Beliau menghendaki aku, cucu pertamanya, untuk tetap tinggal di Jogja. Tapi ibu bersikeras aku harus ikut bersama mereka. Karena bagaimanapun mereka adalah orangtuaku. Akhirnya kakek mengijinkan dan kamipun benar-benar pindah. Sempat sedih karena harus meninggalkan tanah kelahiranku, teman-teman sepermainan sewaktu TK dan juga SD yang baru kutempuh setahun. Tapi namanya anak kecil, sedih dan bahagia kadang tak ada batas waktunya. Sebentar sedih karena suatu hal, di lain waktu sudah kembali ceria.

Beberapa waktu setelah kami tinggal di rumah uwak, bapak pun akhirnya mendapatkan kontrakan. Letaknya agak jauh dari rumah uwak, tapi karena Sungailiat adalah kota kecil maka jauh pun tak terasa jauh karena masih masuk ke lingkungan dalam kota. Selama tinggal di rumah uwak, aku merasa gembira karena ada keenam saudaraku disana yang rata-rata tidak jauh berbeda umurnya denganku. Bang Dian si sulung dan Yuk Shinta (nomor dua), waktu itu sudah duduk di bangku SMP. Abang (laki-laki) dan Ayuk (perempuan)merupakan panggilan untuk kakak disini. Mereka semua baik dan ramah, aku pun merasa betah bermain dengan mereka. Kalau tidak salah waktu itu sedang liburan antar catur wulan, jadi waktu kami habiskan untuk bermain bersama.

Kontrakan yang didapatkan oleh bapak ukurannya tidak terlalu besar. Rumah itu berdempetan di kanan kiri dengan rumah-rumah lain dalam satu kompleks. Sebutannya adalah bedeng, karena ada sekitar 15 rumah dalam area ini. Bedeng ini kepunyaan suami istri yang juga tinggal disini. Kami memanggilnya Nek Ya. Rumah kami ini hanya punya satu jendela dan satu pintu, merupakan akses utama masuk ke rumah dari bagian depan. Dilengkapi dengan satu kamar tidur, satu dapur dan satu ruang tamu. Bagiku cukup sempit untuk ditinggali kami bertiga. Oh iya, kamar mandi dan WC tidak termasuk dalam rumah. Kami harus berbagi dengan beberapa warga bedeng yang lain. Lokasinya tidak terlalu jauh di depan rumah. Kalau mau ke WC, harus membawa ember berisi air dan juga gayungnya. Pengaturan ini supaya WC jadi lebih bersih dan juga teratur. 

Tak berapa lama waktu liburan pun berakhir. Ibu sudah mendaftarkan aku di sekolah SD yang kebetulan berada sangat dekat dengan bedeng. Hal ini tentu saja membuatku senang, karena selama 5 tahun kedepan aku tak perlu berjalan jauh untuk pergi ke sekolah. Sebenarnya ada dua SD yang berdekatan, tapi ibu memilih untuk mendaftarkanku di SDN 8, sedangkan yang satu lagi adalah SDN 405 atau sering disebut SD bertingkat (karena bangunannya tingkat 2). Entah apa alasannya, kupikir karena SD bertingkat sudah penuh siswanya, jadi tidak menerima siswa pindahan dari luar daerah. Tapi aku tak menyesal dengan pilihan ibu, karena di SD 8 inilah hari-hari bahagiaku dimulai. Pun sampai saat ini, aku bersyukur telah dipertemukan dengan mereka, teman-temanku.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment