Tahun
1990 adalah kali pertama kami sekeluarga menginjakkan kaki ke salah satu pulau
di bagian timur Sumatera, yang bernama Pulau Bangka. Waktu itu Bangka dan Belitung
masih merupakan kabupaten di bawah Propinsi Sumatera Selatan yang ibukotanya
adalah Palembang. Namun sekarang, Bangka Belitung sudah berkembang menjadi satu
provinsi tersendiri dengan ibukota Pangkal Pinang. Aku masih ingat waktu itu,
kami naik bis ALS (Antar Lintas Sumatera) yang bertolak dari Jakarta menuju
Palembang. Umurku sekitar 6 tahun. Jalanan yang kami lewati tidaklah semulus
saat ini, menyebabkan waktu tempuh pun masih lebih lama dibanding sekarang. Tapi tetap saja aku menikmati, karena inilah perjalanan jauh yang kutempuh
pertama kali. Sampai di Palembang, kami menginap beberapa hari di rumah saudara
dari bapak. Ya, karena bapak lahir dan besar di Sumatera Selatan, tepatnya di
kota Baturaja. Kota ini berjarak tempuh sekitar 5 jam dari kota Palembang
ke arah selatan. Malah justru lebih dekat dengan Kotabumi, salah satu kota di
Provinsi Lampung.
Untuk mencapai Pulau Bangka, kami masih harus menyebrang
menggunakan kapal kayu. Ukurannya bisa dibilang besar karena bisa menampung
lebih dari 100 orang dan juga kendaraan berupa mobil dan motor. Butuh waktu
sekitar lebih dari 5 jam waktu itu, tapi aku lupa tepatnya. Yang masih aku
ingat, kapal sempat karam hampir satu
jam. Karena air laut surut dan kapal tak bisa bergerak sama sekali. Dasar laut
terlihat jelas dengan segala kehidupannya, ikan dan terumbu karang. Syang waktu
itu belum ada kamera digital, jadi tak ada jejak sama sekali. Tapi masih jelas
tersimpan dalam ingatanku. Kami berdoa, supaya air segera pasang dan kapal bisa
kembali berlayar. Akhirnya setelah menunggu, doa kami dikabulkan. Sampailah
kapal ke dermaga kota Muntok. Kota inilah yang merupakan jalan masuk utama ke
Pulau Bangka. Semua kapal penumpang melempar jangkar disini. Pun sampai
sekarang, pelabuhan Muntok masih digunakan dan tertata semakin rapi untuk
melayani penumpang.
Tujuan kami bukanlah Muntok, melainkan satu kota bernama
Sungailiat. Untuk menuju kota ini membutuhkan waktu lima sampai enam jam dengan
menumpang bis kayu atau akrab disapa Pownis oleh masyarakat setempat. Pownis ini
tak ubahnya sebperti bis biasa, dengan kapasitas tempat duduk sekitar 50 orang.
Pintu hanya ada empat, satu pintu di sebelah kanan untuk supir, dan tiga di
sebelah kiri untuk penumpang. Jangan tanya bagaimana senangnya aku waktu itu,
karena penampakan bis ini agak berbeda dengan bis yang ada di Yogyakarta.
Setelah beberapa waktu, sampai juga kami di kota Sungailiat. Kamipun menuju
rumah salah satu saudara bapak yang bersedia menampung untuk sementara waktu.
Karena waktu itu bapak belum mendapatkan rumah kontrakan. Rasa senang karena
bertemu saudara pun membuncah. Saudara bapak ini adalah suami istri dengan enam
orang anak. Aku memanggil mereka dengan sebutan Uwak laki (paman laki-laki) dan
uwak bini (bibik perempuan). Anak mereka terdiri dari empat orang laki-laki dan
dua orang perempuan. Karena belum bisa berbahasa daerah, maka komunikasi pun
berlangsung dalam bahasa Indonesia. Jadi tak ada kendala tentu saja. Kami patut
berterimakasih kepada para pejuang dan cendikiawan yang dulu telah merumuskan
satu bangsa, satu bahasa, Bahasa Indonesia.
Aku waktu itu masih kelas satu SD sewaktu bapak dan ibu
mengajakku untuk berpindah tinggal. Kakek sempat tidak menyetujui karena jarak
yang terlalu jauh. Beliau menghendaki aku, cucu pertamanya, untuk tetap tinggal
di Jogja. Tapi ibu bersikeras aku harus ikut bersama mereka. Karena
bagaimanapun mereka adalah orangtuaku. Akhirnya kakek mengijinkan dan kamipun
benar-benar pindah. Sempat sedih karena harus meninggalkan tanah kelahiranku,
teman-teman sepermainan sewaktu TK dan juga SD yang baru kutempuh setahun. Tapi
namanya anak kecil, sedih dan bahagia kadang tak ada batas waktunya. Sebentar
sedih karena suatu hal, di lain waktu sudah kembali ceria.
Beberapa waktu setelah kami tinggal di rumah uwak, bapak
pun akhirnya mendapatkan kontrakan. Letaknya agak jauh dari rumah uwak, tapi
karena Sungailiat adalah kota kecil maka jauh pun tak terasa jauh karena masih
masuk ke lingkungan dalam kota. Selama tinggal di rumah uwak, aku merasa
gembira karena ada keenam saudaraku disana yang rata-rata tidak jauh berbeda
umurnya denganku. Bang Dian si sulung dan Yuk Shinta (nomor dua), waktu itu
sudah duduk di bangku SMP. Abang (laki-laki) dan Ayuk (perempuan)merupakan
panggilan untuk kakak disini. Mereka semua baik dan ramah, aku pun merasa betah
bermain dengan mereka. Kalau tidak salah waktu itu sedang liburan antar catur
wulan, jadi waktu kami habiskan untuk bermain bersama.
Kontrakan yang didapatkan oleh bapak ukurannya tidak
terlalu besar. Rumah itu berdempetan di kanan kiri dengan rumah-rumah lain
dalam satu kompleks. Sebutannya adalah bedeng, karena ada
sekitar 15 rumah dalam area ini. Bedeng ini kepunyaan suami istri yang juga
tinggal disini. Kami memanggilnya Nek Ya. Rumah kami ini hanya punya satu
jendela dan satu pintu, merupakan akses utama masuk ke rumah dari bagian depan.
Dilengkapi dengan satu kamar tidur, satu dapur dan satu ruang tamu. Bagiku
cukup sempit untuk ditinggali kami bertiga. Oh iya, kamar mandi dan WC tidak
termasuk dalam rumah. Kami harus berbagi dengan beberapa warga bedeng yang
lain. Lokasinya tidak terlalu jauh di depan rumah. Kalau mau ke WC, harus
membawa ember berisi air dan juga gayungnya. Pengaturan ini supaya WC jadi
lebih bersih dan juga teratur.
Tak berapa lama waktu liburan pun berakhir. Ibu
sudah mendaftarkan aku di sekolah SD yang kebetulan berada sangat dekat dengan
bedeng. Hal ini tentu saja membuatku senang, karena selama 5 tahun kedepan aku
tak perlu berjalan jauh untuk pergi ke sekolah. Sebenarnya ada dua SD yang
berdekatan, tapi ibu memilih untuk mendaftarkanku di SDN 8, sedangkan yang satu
lagi adalah SDN 405 atau sering disebut SD bertingkat (karena bangunannya
tingkat 2). Entah apa alasannya, kupikir karena SD bertingkat sudah penuh
siswanya, jadi tidak menerima siswa pindahan dari luar daerah. Tapi aku tak
menyesal dengan pilihan ibu, karena di SD 8 inilah hari-hari bahagiaku dimulai.
Pun sampai saat ini, aku bersyukur telah dipertemukan dengan mereka,
teman-temanku.
-bersambung-
No comments:
Post a Comment